Quotes

Syukur dan sabar bagai dua sayap , yang kanan sayap syukur dan yg kiri sayap sabar. Jika patah salah satu maka kita akan jatuh~Buya Hamka

Label

Langsung ke konten utama

Anak Rantau (Book Review)

Setelah beberapa kali mencari buku ini di Gramedia Mall Metropolitan Bekasi tetapi tidak menemukannya, akhirnya saya menemukannya di Gramedia Jogja City Mall (JCM) saat sedang mudik. Saat itu saya janjian dengan teman di JCM, sambil menunggu teman saya yang belum datang saya jalan-jalan di Gramedia dan akhirnya membeli novel Anak Rantau  karya A. Fuadi.

Karya-karya A. Fuadi yang sebelumnya yaitu Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara sangat menginspirasi saya. Karena itu saya tidak ragu-ragu untuk membeli karya terbarunya Anak Rantau. Selain itu mungkin kesamaan nasib ya, sekarang saya jadi anak rantau jadi ingin tau apa yang diceritakan A. Fuadi dalam novelnya kali ini.

Novel ini bercerita tentang seorang remaja bernama Hepi yang merupakan keturunan Minang. Hepi sejak lahir sudah ditinggalkan oleh ibunya karena meninggal dunia setelah melahirkan  Hepi. Dia hidup bersama ayah dan kakak perempuannya di Jakarta. Hepi adalah anak yang cerdas dan suka sekali membaca buku. Alangkah mengejutkannya saat pembagian rapor kenaikan kelas wali kelas Hepi mengatakan jika Hepi tidak naik kelas. Ya, Hepi banyak berulah dengan sering membolos bahkan lembar ujiannya tidak diisi. Akibatnya rapornya kosong dan dia dinyatakan tidak naik kelas. Sang Ayah sangat terkejut karena menurutnya anakanya adalah anak yang pintar. Ayahnya tak banyak bicara namun dia sudah menyiapkan sesuatu untuk Hepi.

Ayah Hepi akhirnya mengajak Hepi mudik (pulang kampung) ke kampung halamannya di Tanjuang Durian Padang. Hepi senang sekali karena selama ini setiap kali Hepi mengajak ayahnya mudik ayahnya selalu keberatan. Ini sangat aneh menurut Hepi karena dia harusnya mendapatkan hukuman dari ayahnya namun ayahnya malah mengajaknya liburan ke kampung halaman. Apa yang dilakukan Hepi selama ini adalah bagian dari protesnya terhadap Sang Ayah karena ia menganggap ayahnya kurang memperhatikannya.

Betapa bahagianya Hepi akhirnya bisa merasakan mudik ke kampung halaman dan bertemu dengan kakek dan neneknya. Hepi juga mendapatkan teman baru yang benama Attar dan Zen. Hal yang mengejutkan lagi terjadi. Ternyata ayahnya  bersama kakek dan neneknya sudah membuat rencana untuk Hepi agar Hepi melanjutkan sekolah di kampung saja. Hal itu baru diketahui saat Hepi sudah berkemas dan akan ikut kembali ayahnya ke Jakarta namun ayah Hepi malah meninggalkannya. Hepi sangat marah dan kecewa terhadap ayahnya.  Hepi merasa dibuang oleh ayahnya. Kemudian dia bertekad akan mengumpulkan uang dan akan kembali ke Jakarta secepatnya. Di sinilah petualangan Hepi yang sesungguhnya dimulai.

Novel ini dikemas dengan latar bekalang adat istiadat Minang. Banyak hikmah yang bisa diambil dari novel ini diantaranya adalah tentang memaafkan, berdamai dengan masa lalu, ketuhanan,  nasionalisme, pendidikan, dan juga tentang hubungan anak dan orang tua.

Berikut adalah salah satu nasehat Pandeka Luko (salah satu tokoh dalam novel tersebut) yang cukup menyentuh: 

"Bagaimana sedih dan merasa terbuang itu melemahkan. Bagaimana terlalu berharap kepada manusia dan makhluk itu mengecewakan. Jadi, kalau merasa ditinggalkan, jangan sedih. Kita akan selalu ditemani dan ditemukan oleh yang lebih penting dari semua ini. Resapkan ini: kita tak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah pada kita yang membuang waktu. Kita tidak dibuang, kita yang merasa dibuang. Kita tidak ditinggalkan, kita yang merasa ditinggalkan. Ini hanya soal bagaimana kita memberi terjemah pada nasib kita."

Happy reading yaa!!!






life-long learner, suka jalan-jalan, blogging, dan phonetography| Bahagia itu sederhana| Hidup mulia dan husnul khotimah (aamiin).

Komentar